Nama : Dama Adhyatma
Jurusan : BHP Smester 1
Nim. : 08101026
Tugas Antropologi Pariwisata
Tradisi Med-Medan
Med-medan berasal dari kata omed-omedan yang berarti tarik menarik. Tradisi ini berlangsung tepatnya di Banjar Kaja Sesetan wilayah Denpasar Selatan dan biasanya diselenggarakan satu hari setelah Nyepi yang disebut hari Ngembak Geni. Masyarakat awam sebelumnya hanya memandang med-medan hanya sebagai hiburan atau sebuah permainan , padahal banyak nilai ritual dan filosofis yang terkandung didalamnya. Nilai filosofis med-medan ada pada konsep pertemuan antara Purusha-Pradana (laki-laki dan perempuan) yang sangat jelas terlihat, yang menimbulkan adanya keseimbangan di alam semesta.
Tradisi ini berlangsung pada pkl. 15.30 wita tepat di depan Banjar Kaja Desa Adat Sesetan, dan sebelum acara dimulai terlebih dahulu dilakukan persembahyangan bersama. Peserta med-medam adalah pemuda dan pemudi dari empat tempekan dari Sekaa Teruna Satya Dharma Kerti, Banjar Kaja Sesetan yang berjumlah sekitar 200 orang. Sekaa Teruna dibagi menjadi dua kelompok putra dan putri, yang kemudian akan menunjuk salah satu anggotanya untuk berada di depan barisan, kemudian kedua kelompok akan saling bertemu dan merangkul, sedangkan anggota lainnya di belakang berusaha untuk menarik pasangan yang sedang berangkulan, sehingga antar kelompok akan saling tarik menarik (omed-omedan) disertai dengan guyuran air dan suara gamelan baleganjur semakin menambah semangat dan kegembiraan para peserta.
Med-medan dulunya hanyalah sebuah kebiasaan. Tetapi belakangan oleh krama Banjar Kaja Sesetan dijadikan acara yang sakral. Munculnya med-medan bermula dari sembuhnya seorang sesepuh Puri Oka Sesetan, AA Made Raka dari suatu penyakit.
Oleh karena menderita sakit, tokoh puri itu tidak menginginkan adanya keramaian (med-medan) di hari raya Nyepi. Tetapi krama banjar memberanikan diri membuatnya dengan segala risiko. Mendengar adanya keramaian, AA Made Raka berusaha mendatanginya. Tetapi aneh, sakit yang dideritanya sembuh seketika setelah menyaksikan acara tersebut. Dari situ muncul upaya tetap melaksanakan tradisi tersebut di Hari Raya Nyepi.
Belakangan–tepatnya pada zaman Belanda, med-medan sempat dilarang. Kendati demikian tidak menyurutkan krama untuk tetap melanjutkan tradisi unik tersebut. Kegiatan pun lantas dilangsungkan secara sembunyi-sembunyi. Dulu, med-medan dilangsungkan pada Hari Raya Nyepi. Tetapi sejak tahun 1979 agar tidak mengganggu pelaksanaan catur brata penyepian, med-medan akhirnya dilaksanakan pada Ngembak Geni.
Dikatakan, med-medan juga sempat ditiadakan karena ada penyimpangan berupa adegan ciuman. Tetapi peristiwa aneh pun terjadi. Sepasang babi yang tidak diketahui asal-muasalnya berkelahi di halaman Pura Banjar. Darah babi pun berceceran di mana-mana. Warga banjar yang melihat kejadian itu sertamerta melerainya, tetapi tak berhasil. Akhirnya, ada bawos agar med-medan tetap dilangsungkan. Begitu tradisi itu dilangsungkan, kedua ekor babi itu menghilang tanpa jejak. Darah yang tadinya terlihat membasahi tanah, hilang seketika. Sejak itulah krama tidak berani lagi meniadakan med-medan sehingga lestari sampai sekarang.
Pagi,
bisa nggak saya mendapatkan modul antropologi pariwisata dari Bali.
makasih,
Rita MS
Medan