Warga Tolak Pengerukan Pasir Laut di Pantai Geger
Harian Kompas, Jumat, 5 September 2008 | 01:10 WIB
Denpasar, Kompas – Warga Pantai Geger dan Sawangan, Kabupaten Badung, Bali, dan sejumlah kampung di sekitarnya menolak kebijakan pemerintah kabupaten yang mengizinkan pengerukan pasir laut di kawasan itu. Alasannya, pengerukan itu akan mengganggu usaha rumput laut ratusan keluarga petani setempat.
Alasan lain adalah pengerukan pasir laut akan menghancurkan terumbu karang, menimbulkan abrasi yang menghancurkan garis pantai, dan berpotensi menghanyutkan unsur hara penyubur rumput laut.
Hal itu dikemukakan Kepala Desa Adat (Bendesa) Pemingeh, Wayan Lemes di Sawangan, Kuta Selatan, Kamis (4/9).
Desa Adat Pemingeh berpenduduk 545 kepala keluarga atau sekitar 3.000 jiwa yang meliputi Banjar Geger dan Banjar Sawangan. Sebanyak 90 persen warganya bertani rumput laut.
Menurut Lemes, tokoh warga Pemingeh akhir Agustus membuat pernyataan menolak pengerukan pasir laut. Namun, proyek tersebut tetap berjalan.
Wayan Kunci (38), petani rumput laut di Pantai Geger, berharap pemerintah membatalkan rencana pengerukan pasir laut.
Tony Akwang, pedagang rumput laut dari Jakarta yang ditemui di Pantai Geger, juga menyayangkan kebijakan pemerintah mengizinkan pengerukan pasir laut mengingat mutu rumput laut di daerah itu sangat istimewa.
Kepala Balai Wilayah Sungai Bali-Penida yang menjadi salah satu pimpinan proyek pembangunan penangkap pasir di Pantai Kuta, Ray Yusha, menyatakan, pihaknya tidak sepakat dengan penggunaan kata pengerukan.
”Kami hanya mengisap pasir dari dasar laut sedalam 30-40 sentimeter. Proyek ini tetap akan dijalankan karena persyaratan prosedural sudah dilakukan, termasuk soal analisis mengenai dampak lingkungan,” kata Ray.
Pasir akan digunakan untuk menguruk Pantai Kuta yang terkena abrasi parah sepanjang 7 kilometer, mulai dari samping Bandara Ngurah Rai hingga depan Hotel Hard Rock, Kuta. Proyek itu direncanakan sejak pertengahan 2003. (BEN/ANS)
Analisis Masalah Dengan Teori-Teori Sosiologi
1. Teori Konflik
Teori konflik memberikan konsep “Economic Mode of Pruduction”. Menghasilkan kelas yang mengeksploitasi dan kelas yang tereksploitasi. Dalam masalah pengerukan pantai Geger ini, yang merasa tereksploitasi adalah warga desa adat Peminggeh yang meliputi Banjar Geger dan Banjar Sawangan. Warga menyatakan menolak pengerukan pasir laut di pantai Geger itu akan mengganggu usaha rumput laut mereka. Pengerukan pasir laut juga akan menghancurkan terumbu karang, menimbulkan abrasi yang menghancurkan garis pantai, dan berpotensi menghanyutkan unsur hara penyubur rumput laut. Oleh karena itu, warga sangat tidak setuju jika pemerintah kabupaten badung mengizinkan pengerukan pasir laut di pantai Geger.
Di lain pihak, menurut pandangan warga, kelas yang mengeksploitasi adalah pemerintah kabupaten badung yang mengizinkan pengerukan pasir laut di pantai Geger tersebut. Namun, Kepala Balai Wilayah Sungai Bali-Penida yang menjadi salah satu pimpinan proyek pembangunan penangkap pasir di Pantai Kuta, Ray Yusha menyatakan pihaknya akan tetap melakukan penghisapan pasir di dasar laut sedalam 30-40 cm karena pasir tersebut akan digunakan untuk menguruk Pantai Kuta yang terkena abrasi parah sepanjang 7 kilometer, mulai dari samping Bandara Ngurah Rai hingga depan Hotel Hard Rock. Menurutnya, proyek tersebut sudah sesuai dengan persyaratan procedural dan analisis mengenai dampak lingkungan.
Dari permasalahan tersebut dapat kita simpulkan bahwa terjadi konflik antara masyarakat/warga desa adat Peminggeh dengan pemerintah/instansi terkait serta adanya masalah dominasi dan subordinasi.
2. Teori Pertukaran dan Pilihan Rasional
Menyebutkan bahwa faktor utama yang menentukan prilaku manusia adalah motivasi terhadap benefit/keuntungan. Masalah ini dapat di kaji melalui dua sudut pandang yang berbeda.
Jika dilihat dari sudut pandang pemerintah/instansi terkait, dilakukannya penghisapan pasir laut di pantai Geger dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan berupa kelestarian pantai Kuta dan keuntungan lain yang bisa dilihat dalam jangka panjang, misalnya pariwisata di Kuta akan tetap eksis sehingga membawa dampak yang baik terhadap perekonomian Negara. Benefit/keuntungan lain yang mungkin akan di dapat yaitu berupa simpati warga, dan sebagainya.
Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang warga, aksi penolakan dilakukan untuk memperoleh keuntungan berupa usaha rumput laut mereka akan tetap eksis dan tidak terganggu, terumbu karang tidak hancur, dan tidak terjadi abrasi di pantai Geger.
Masalah ini dapat diselesaikan dengan memilih salah satu pemecahan yang baik, yakni tetap melakukan pengerukan pasir atau tidak melakukannya. Pengerukan pasir laut di pantai Geger ini perlu ditinjau kembali dan dikaji menurut dampak-dampaknya agar menjadi lebih jelas dan transparan. Jangan sampai memperbaiki satu pantai dengan merusak pantai lainya. Apalagi jika melakukan pengerukan pasir tersebut dengan tujuan komersil atau dijual ke Negara lain. Menurut saya pengerukan pasir di pantai Geger ini perlu dihentikan, karena akan tambah merusak alam dan lingkungan.
wah, dam, sepertinya kamu sedang melangkah jadi intelektual muda pariwisat berbasis pariwisata nie!
hehe: )
truz caranya ngambil keputusan gmna yach….
Bagus tulisannya,,kembangkan ya
q dapat tgs analisa masalah pariwisata, bs bantu gk nih??
hebat!!!! aku paling senang ada orang yang mau mengungkap hal2 yang terkait dengan masalah sosial dan pariwisata. karena kita harus bangga pada Indonesia kita yang kaya dengan potensi pariwisata… thanks yc….!!!